Sejarah Singkat Nahdhatul Ulama'
Mulai berdirinya NU dalam perjuangannya
dititik beratkan pada penguatan paham Ahlus Sunah wal Jama’ah terhadap serangan
penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab
yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan ajaran Ahlus Sunah wal Jama’- ah,
disamping melakukan penguatan persatuan diantara para Kyai dan Pengasuh
Pesantren.
Pada tahun 1937 M, KH. Abdul Wahab
Hasbullah, KH. Dahlan Ahyad ( NU ), KH. Mas Mansur ( Muhammadiyah ) dan
Wondoamiseno ( Syarikat Islam / SI ), mereka berkumpul di Surabaya mendirikan
federa si organisasi Islam yang diberi nama Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI)
dan KH. A. Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua, dan pada giliran beri-kutnya
jabatan ketua digantikan oleh KH. M. Dahlan dari NU. Di dalam MIAI dibentuk
pula sebuah Komisi Pemberantas Penghinaan Islam, yang di ketuai oleh KH. Zainul
Arifin ( NU ), dan Komisi Luar Negeri yang di ketuai oleh KH. Mahfudz Shidiq (
NU ).
Pada tahun 1942 M, Jepang datang menjajah
Indonesia, semua or-ganisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi politik di
Indonesia di be-kukan, termasuk NU dan MIAI, bahkan Rais Akbar NU KH. Hasyim
As-‘ari dan Ketua umum PBNU KH. Mahfudz Shidiq ditahan oleh Jepang. Ketika
ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nipon, perjuangan para Kyai NU difokuskan
melalui jalur diplomasi, KH. A. Wahid Hasyim dan bebe-rapa Kyai yang lain masuk
sebagai anggota Chuo Sangi In ( parlemen buatan Jepang ).
Pada bulan September 1943 M, Jepang
mengijinkan NU dan Mu-hammadiyah diaktifkan kembali atas permintaan KH. A.Wahid
Hasyim lewat parlemen, dan bisa beraktivitas kembali seperti di masa penjajahan
Belanda.
Pada 14 Oktober 1944 M, KH. A.Wahid
Hasyim, meminta agar Jepang melatih kemiliteran pemuda Islam secara khusus dan
terpisah dan bergabung menjadi prajurit pembantu tentara Jepang ( Heiho ),
perminta-an tersebut dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih
kemiliteran oleh para komandan PETA dengan pengawasan prajurit dari Jepang,
ketika itu bertindak sebagai Panglima Tertinggi Hizbullah adalah KH. Zainul
Arifin dari NU. Sementara di bidang politik KH. A.Wahid Hasyim selain duduk
dalam parlemen juga duduk sebagai Pimpinan Ter-tinggi Shumubu ( Departemen
Agama ), menggantikan KH. Hasyim Asy’ ari yang berhalangan untuk berkantor di
Jakarta.
Pada tanggal 29 April 1945 M, dibentuklah
Badan Penyelidik Usa ha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ), dan KH. A.
Wahid Hasyim, KH. A.Wahab Hasbullah, KH. Masykur dan KH. Zainul Arifin
duduk sebagai anggota. Disamping itu KH. A.Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ), ia juga tercatat sebagai
salah seorang Perumus Dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan
Piagam Jakarta, bersama delapan orang lainnya. Kemudian setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 KH. A.Wahid Hasyim menduduki jabatan dari
salah satu menteri Negara.
Tanggal 22 Oktober 1945 Belanda datang
lagi dengan membon-ceng tentara Sekutu sambil mengultimatom agar pejuang
Indonesia me-nyerah, disaat seperti ini NU tampil dengan mengeluarkan Resolusi
Jihad nya yang mampu membakar semangat perjuangan kaum muslimin, mere-ka tidak
gentar menghadapi kematian, karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil
(perang agama).
Tanggal 25 Mei 1947 diselenggarakan
muktamar NU ke 17 di kota Madiun, dimana dalam muktamar
ini atas prakarsa KH. A. Wahid Hasyim mendirikan “Biro Politik
NU”, dan disetujui oleh Muktamar. Biro ini bertugas mengadakan
perundingan-perundingan dengan kelom-pok intelektual yang mendominir Masyumi,
guna menyelesaikan berba-gai ketimpangan yang dirasakan amat merugikan NU.
Tanggal 21 Juli 1947 dan 18 Desember 1948, niat untuk menyele-saikan ketimpangan dengan Masyumi ditangguhkan, berhubung suasana Revolusi dan dua kali menghadapi agresi militer Belanda. Tiada maksud lain dari NU kecuali agar konsentrasi umat Islam menghadapi agresi militer Belanda tidak tergoyahkan. Dua bulan setelah muktamar Madiun agresi militer Belanda yang pertama 21 Juli 1947 behasil merebut markas tertinggi Hizbullah dan Sabilillah di Malang, berita buruk ini di sampai-kan oleh K. Ghufron pimpinan Sabilillah Surabaya dan Panglima Besar Jendral Sudirman dan Bung Tomo kepada KH. Hasyim Asy’ari di Jom-bang, mendengar berita ini beliau memegangi kepalanya sambil berseru : “Masya Alloh, Masya Alloh, Masya Alloh”, lalu beliau pingsan dan me-ngalami pendarahan otak, malam itu juga tanggal 7 Ramadlan 1366 H / 25 Juli 1947 Rais Akbar NU berpulang ke Rahmatulloh.
Dengan meninggalnya KH. Hasyim Asy’ari
ini, bukan berarti per juangan NU harus berhenti. Seperti kata peribahasa “Patah
satu tumbuh seribu, patah hilang tumbuh kembali”. Perhatian NU tetap
tertuju kearah pertempuran pisik melawan agresi Belanda, beberapa pasukan
tempur Hizbullah dan Sabilillah dikirim ke garis depan, dan sebagian lagi di
ke-rahkan untuk mengamati aksi-aksi komunis yang mulai mencurigakan.
Pada bulan September 1948 aksi-aksi
komunis ( PKI ) telah sam-pai pada puncaknya melakukan pemberontakan bersenjata
yang dikenal dengan “Madiun Affair”. NU memandang pemberontakan PKI
sebagai an caman serius bagi keselamatan Republik Indonesia. Untuk menghadapi
pemberontakan ini markas tertinggi Hizbullah pimpinan Zainul Arifin me ngirim
devisi Hizbullah Surabaya pimpinan Wahib Wahab dan memasu-ki Madiun dari
jurusan Nganjuk, sedang devisi Hizbullah Magelang pim-pinan Saifuddin Zuhri
memasuki Madiun dari jurusan Ngawi, sementara itu pasukan Siliwangi mengadakan
pengejaran dari Selatan Madiun.
Pada tanggal 31 Oktober 1948, pimpinan
pemberontak PKI Madi-un yang bernama Muso berhasil disergap dan mati di tembak
oleh kesa- tuan dari devisi Saifudin Zuhri pimpinan Hizbullah di Desa Niten
Keca matan Kauman Sumoroto Kabupaten Ponorogo.
Pada tanggal 29 Nopember 1948, Amir
Syarifuddin pimpinan pemberontak PKI Madiun dengan kawan-kawannya ditangkap
hidup di Desa Klompok Purwodadi Jawa Tengah. Kedua devisi Hizbullah Surabaya
pimpinan Wahib Wahab dan Hizbullah Magelang pimpinan Saifuddin Zuhri dengan
cara bahu membahu bersama TNI dan lain-lain kelasykaran bersenjata dapat
merebut kembali Madiun ke pangkuan Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 1
Desember 1948 tokoh-tokoh pemberontak seperti : Amir Syarifuddin, Djoko Suyono,
Maruto Darusman, dan Suripno di bawa ke Yogjakarta untuk di adili dengan pera
dilan Setelah permusuhan dengan Belanda dinyatakan selesai dengan
berhasilnya “Konferensi Meja Bundar” ( KMB ) di Den Haag tanggal 23
Agustus 1949 s/d 29 Oktober 1949 disusul dengan dibentuknya “Negara Republik
Indonesia Serikat” ( RIS ) dan kemudian disusul lagi terbentuk-nya “Negara
Kesatuan Republik Indonesia” ( NKRI ) dengan kembalinya ibukatoa negara
dari Yogjakarta ke Jakarta, NU mengalihkan perhatianya kepada
penyelesaian organisatoris dengan partai Masyumi.
Pada tanggal 30 April 1950 s/d 3 Mei 1950
diselenggarakan Muk-tamar NU ke XVIII di Jakarta, dengan salah satu
keputusannya adalah NU keluar dari Masyumi, selain keputusan penting itu
Muktamar juga menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Am ( istilahnya
bukan lagi Rais Akbar ) menggantikan KH. Hasyim Asy’ari. Dan juga menyetujui
berdirinya organisasi Remaja Wanita NU yang diberi nama “Fatayat NU”.
Pada Muktamar NU ke 19 di Palembang tahun
1952 diputuskan bahwa NU menjadi partai Politik. Dalam pemilu pertama 1955
partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi.
Selama perkembangan tahun 1926 – 1955 NU
telah melakukan berbagai perubahan cukup berarti, baik untuk kepentingan intern
NU maupun bagi kepentingan bangsa pada umumnya. Untuk kepentingan in-tern, NU
telah mengadakan perbaikan di bidang pendidikan, sosial mau-pun dakwah, bahkan
mengembangkan sayap organisasinya di kalangan kaum muda, remaja puteri maupun
kaum ibu, berupa organisasi GP. An-sor, Fatayat NU dan Muslimat NU, ini berarti
eksistensi NU sebagai orga nisasi sosial keagamaan semakin kokoh.
Sedangkan yang bersifat ekstern (keluar),
NU telah mempelopori terbentuknya MIAI, sekaligus mengakhiri pertikaian
Khilafiyah hingga kemudian bisa bahu membahu dengan GAPI, menuntut Indonesia
berpar-lemen kepada pemerintah Hindia Belanda. Di jaman Jepang, politik
Yahannu, NU cukup berhasil untuk mendirikan Masyumi, Shumuka, Hizbullah dan
Sabilillah bersama tokoh-tokoh Islam diluar NU. Dan semua itu akan memaksa kita
untuk mengakui keterlibatan NU dalam per juangan merebut Kemerdekaan Indonesia
baik secara politik dan fisik.
Pada April 1961, tokoh-tokoh NU
memprihatinkan Penpres no. 7 tahun 1959 dan Penpres no. 13 tahun 1960 tentang
penyederhanaan partai dan syarat-syarat partai yang berhak hidup, pertanyaan
mereka : Apakah NU masih boleh hidup atau tidak ?.
Pada tanggal 15 April 1961, Presiden
Soekarno menetapkan putu-sannya untuk mengakui kedudukan 8 (delapan) Partai
Politik yang berhak hidup, satu diantaranya adalah NU. Setelah eksistensi NU
diakui, dan beberapa bulan sebelum itu terjadi permusuhan politik “Poros
Jakarta Peking” yang mengakibatkan politik condong ke kiri, NU segera
menga-dakan konsulidasi organisasi. NU sudah melihat tindakan politik PKI
se-makin berani dan keras, saat itu KH. Syaifuddin Zuhri mengemukakan :
“Perlawanan NU terhadap PKI dilakukan
di semua medan juang, PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi pemuda Ansor
menjadi Banser yang lebih militan. PKI menyanyikan lagu Genjer-Genjer yang
penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan bacaan Shalawat Badar..
....NU mengobarkan semaangat perlawanan
terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948”.
Pada
bulan Juli dan Agustus 1965, CGMI dan PR (Pemuda Rak-yat) mengadakan latihan
rahasia di Lubang Buaya, untuk apa latihan kemiliteran itu dilakukan belum bisa
diketahui secara pasti. Melihat kea-daan yang menghawatirkan itu Ketua IV PBNU
HM. Subhan ZE yang sejak lama menggalang persatuan di kalangan HMI, PMII,
Pemuda Ansor, Muhammadiyah dan lain sebagainya, mengadakan kontak dengan
kekuatan pemuda lainnya, khususnya dari partai atau ormas Katholik dan Kristen
terutama PMKRI
Pada tanggal 1 Oktober 1965 hari Jum’at dinihari meletuslah Gerakan 30 September ( G 30 S / PKI ), di saat dimulainya latihan kemili teran antara Pemuda Ansor dengan melibatkan TNI AD untuk mengimba ngi latihan kemiliteran yang diadakan PKI. Sebelum Subuh tanggal 1 Ok-tober 1965 Gestapu sudah meletus, gerombolan penculik ( PKI ) menem-bak mati Letjend Ahmad Yani ( Menteri / Panglima TNI AD ), dan diba wa ke Lubang Buaya, tempat pembunuhan yang sudah mereka sediakan untuk MayJend. Haryono, MayJend. Suprapto, Mayjend S. Parman, Brig Jend. D.I Panjaitan, BrigJend. Sutoyo Siswomihardjo, mereka ini diculik dan dibunuh dengan kejam di Lubang Buaya. Ketika itu Jendral AH. Na-sution lolos dari dari sergapan Gestapu PKI, namun putrinya yang masih berumur 5 tahun, Ade Irma Nasution menjadi korban keganasan PKI.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 hari Jum’at dinihari meletuslah Gerakan 30 September ( G 30 S / PKI ), di saat dimulainya latihan kemili teran antara Pemuda Ansor dengan melibatkan TNI AD untuk mengimba ngi latihan kemiliteran yang diadakan PKI. Sebelum Subuh tanggal 1 Ok-tober 1965 Gestapu sudah meletus, gerombolan penculik ( PKI ) menem-bak mati Letjend Ahmad Yani ( Menteri / Panglima TNI AD ), dan diba wa ke Lubang Buaya, tempat pembunuhan yang sudah mereka sediakan untuk MayJend. Haryono, MayJend. Suprapto, Mayjend S. Parman, Brig Jend. D.I Panjaitan, BrigJend. Sutoyo Siswomihardjo, mereka ini diculik dan dibunuh dengan kejam di Lubang Buaya. Ketika itu Jendral AH. Na-sution lolos dari dari sergapan Gestapu PKI, namun putrinya yang masih berumur 5 tahun, Ade Irma Nasution menjadi korban keganasan PKI.
Pada pagi setelah subuh Gestapu menguasai
kantor pusat Teleko-munikasi ( Telphon ) dan studio RRI ( Radio Republik
Indonesia ) Letnan Untung pimpinan Gestapu menyiarkan bahwa perbuatan atau
tin-dakan itu dilakukan untuk menggagalkan rencana perebutan kekuasaan yang
akan dilakukan oleh Dewan Jendral pada 5 Oktober mendatang. Dan siaran ini
diulang lagi oleh Letkol Untung pada jam 12.30 tanggal 1 Oktober 1965.
Pada Jam 14.30 tanggal 1 Oktober 1965,
setelah dua jam siaran Letkol Untung melalui RRI, NU bersama tokoh-tokoh GP
Ansor tanpa ragu-ragu lagi menyatakan sikapnya bahwa NU mengutuk tindakan
Ges-tapu PKI dan menentang pembentukan Dewan Revolusi seperti yang di umumkan
oleh Letkol Untung. Hari itu juga RRI dan pusat telekomuni-kasi berhasil
dikuasai oleh Panglima KOSTRAD MayJend. Soeharto dan RPKAD serta berhasil
menggiring pelaku Gestapu PKI ke Lubang Buaya, dan menyatakan bahwa Gestapu PKI
adalah perbuatan “kontra revolusi”.
Pada tanggal 5 Oktober 1965, empat hari
setelah peristiwa Gesta-pu PKI, dan belum ada satupun partai politik yang
menyatakan sikapnya PBNU bersama ormas pendukungnya tampil meyatakan sikap
menentang dan mengutuk usaha PKI itu, lewat siaran RRI, publikasi Surat Kabar
dan Majalah baik dalam maupun luar negeri. PBNU mengeluarkan resolusi mengutuk
Gestapu PKI yang isinya antara lain :
- Mendesak Presiden Soekarno untuk segera
membubarkan PKI dan seluruh antek-anteknya.
- Mendesak Presiden Soekarno untuk mencabut Surat Ijin
Terbit (SIT) seluruh media cetak baik yang langsung maupun tidak lang-sung
telah membantu Gestapu PKI.
- Menyerukan kepada seluruh ummat Islam agar
membantu sepe-nuhnya kepada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)
dalam usahanya mengembalikan ketertiban Nasional akibat Ges-tapu PKI.
Pada tanggal 5 Oktober 1965, HM. Subhan
ZE, berhasil melahirkan KAP Gestapu ( Komando Aksi Pengganyangan Gestapu ) yang
dipimpin langsung oleh beliau, dimana wadah ini himpunan dari HMI, PMII,Ansor
maupun Muhammadiyah dan kekuatan ormas partai Kristen dan Katolik.
Peranan NU dalam ikut menumpas
pemberontakan PKI, bukan hanya dibuktikan dengan pernyataan sikap tanggal 5
Oktober 1965 dan terben-tuknya KAP GESTAPU yang dipimpin oleh HM. Subhan ZE,
saja melainkan lebih dari itu juga dibuktikan dalam pertempuran phisik di ber
bagai daerah. Ini membuktikan bahwa partai NU satu-satunya partai poli-tik yang
berani menanggung segala resiko berhadapan dengan PKI, demi kepentingan bangsa,
negara dan agama.
Sikap keras NU terhadap PKI bukan hanya
karena motif politik, tatapi yang paling dominan adalah motivasi agama, sebab
PKI sendiri me mandang NU bukan hanya sebagai lawan politik, melainkan juga
lawan dari ideologi komunis yang harus dihabisi secara phisik.
Pada tanggal 3 Oktober 1965, di Demak Jawa
Tengah ditemukan do-kumen PKI yang isinya daftar para Ulama dan Kyai seluruh
Demak yang hendak diculik dan dibunuh oleh PKI. Di Banyuwangi PKI mengepung dan
membunuh beberapa tokoh NU dan Ansor, akibat dari kajadian ini terjadilah pertempuran
berdarah yang membawa korban 40 anggota Ansor, kemarahan massa NU semakin
memuncak, akhirnya pembasmian tokoh-tokoh PKI terjadi dimana-mana.
Pada bulan Desember 1965, atas perintah
Pangdam VIII Brawijaya agar kampanye penumpasan PKI dihentikan dan massa NU
berdiri dibela kang ABRI, maka berhentilah aktivitas massa NU sebagai barisan
terdepan, dan beralih di belakang ABRI dalam operasi penumpasan beri-kutnya.
0 komentar:
Posting Komentar